Friday, January 25, 2013

Tarbiyah Ruhiyah


1. Ruhaniyatud-Da’iah

1.a.   Fluktuasi iman

Secara fitrah manusia memiliki kecenderungan untuk berbuat fujur (dosa) dan ketaqwaan [91:9-10).
“Maka Allah Mengilhamkan kepada jiwa itu Jalan kepasikan dan ketakwaannya, sesungguhnya beruntunglah orang yang menyucikan jiwa itu, dan sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya.” [Asy-Syams 91:9-10)
Hal ini mengakibatkan keimanan seseorang mengalami fluktuasi (terkadang naik, terkadang turun).
“Keimanan itu bisa bertambah dan berkurang. Maka perbaharuilah iman kalian dengan Laa Ilaaha Illallah.” (HR. Ibnu Islam)
Catatan :
Fluktuasi iman seorang Muslim seharusnya memiliki kecenderungan untuk senantiasa naik dan bukan fluktuasi yang tidak beraturan.

1.b.   Hakikat Taqwa

Ungkapan para sahabat dan ulama :
·         Taqwa : konsekwensi logis dari keimanan yang kokoh, keimanan yang selalu dipupuk dengan muroqobatullah; merasa takut terhadap murka dan adzab-Nya, dan selalu berharap limpahan karunia dan maghrifah-Nya.
·         Taqwa : hendaklah Allah tidak melihat kamu berada dalam larangan-larangan-Nya dan tidak kehilangan kamu dalam perintah-perintah-Nya.
·         Taqwa : mencegah diri dari azab Allah dengan berbuat amal sholeh dan takut kepada-Nya di kala sepi atau pun terang-terangan
·         Taqwa : Hendaklah kamu berbuat dengan taat kepada Allah, berada di atas cahaya dari Allah, mengharap pahala Allah, meninggalkan kedurhakaan kepada Allah berdasarkan cahaya-Nya dan takut kepada siksa-Nya (Ibnu Mas’ud)
1.c.  Balasan bagi orang-orang yang bertakwa

·         Diberikan furqon dan diampuni dosanya
Hai orang-orang yang beriman, jika kamu bertakwa kepada Allah, niscaya Dia akan Memberikan kepadamu Furqan dan Menghapuskan segala kesalahan-kesalahanmu dan Mengampuni (dosa-dosa)mu. Dan Allah Mempunyai Karunia yang besar. (Al Anfaal 8:29)
·         Diberikan rahmat dan cahaya hidayah dari Allah
Hai orang-orang yang beriman (kepada para rasul), bertakwalah kepada Allah dan berimanlah kepada Rasul-Nya, niscaya Allah Memberikan Rahmat-Nya kepadamu dua bagian, dan Menjadikan untukmu Cahaya yang dengan Cahaya itu kamu dapat berjalan dan Dia Mengampuni kamu. Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang, (Al Hadid 57:28)
·         Diberikan jalan keluar dan rizki dari arah yang tidak disangka-sangka
“Barangsiapa bertawa kepada Allah niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan keluar. Dan memberinya rizqi dari arah tiada disangka-sangka.” (ath-Thalaq 65:2-3)
·         Dimudahkan oleh Allah segala urusan
Dan barang siapa yang bertakwa kepada Allah, niscaya Allah Menjadikan baginya Kemudahan dalam urusannya. (ath-Thalaq 65:4)
·         Ditutupi kesalahan-kesalahan dan akan dilipatgandakan pahala baginya oleh Allah
dan barang siapa yang bertakwa kepada Allah, niscaya Dia akan Menghapus kesalahan-kesalahannya dan akan Melipatgandakan Pahala baginya. (ath-Thalaq 65:5)
·         Mendapatkan berkah dari Allah
Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan Melimpahkan kepada mereka Berkat dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (Ayat-ayat Kami) itu, maka Kami Siksa mereka disebabkan perbuatannya. (Al-A’raahf 7:96)

1.d.  Jalan Mencapai Peringkat Taqwa

Bagian I : Faktor-faktor yang penting
1.      MU’AHADAH (Mengikat Perjanjian)
“Dan tepatilah perjanjian dengan Allah apabila kamu berjanji dan janganlah kamu membatalkan sumpah-sumpah(mu) itu, sesudah meneguhkannya, sedang kamu telah menjadikan Allah sebagai Saksimu (terhadap sumpah-sumpah itu). Sesungguhnya Allah Mengetahui apa yang kamu perbuat.” (QS. An Nahl 16:91)
Cara Mu’ahadah : Hendaklah seorang mu’min berkholwat (menyendiri) antara dia dan Allah untuk mengintrospeksi diri seraya mengatakan pada dirinya: “Wahai jiwaku, sesungguhnya kamu telah berjanji kepada Rabbmu setiap hari disaat kamu berdiri membaca”.”Hanya kepada Engkau kami beribadah dan hanya kepada Engkau kami mohon bantuan”. Wahai jiwaku, bukankah dalam munajat ini engkau telah berikrar tidak akan berhamba selain kepada Allah, tidak akan meminta pertolongan selain kepada-Nya. Tidakkah engkau telah berikrar untuk tetap komitmen kepada shiratal mustaqim yang terbebas dari kerumitan dan liku-liku perjalanan … Tidakkah engkau telah berikrar untuk berpaling dari jalan orang-orang sesat dan dimurkai Allah ? Kalau memang demikian, hati-hatilah wahai jiwaku. Janganlah engkau langgar janjimu setelah Dia engkau jadikan sebagai pengawasmu. Janganlah engkau mundur dari jalan yang telah ditetapkan oleh Islam setelah engkau jadikan Allah sebagai saksimu. Hati-hatilah jangan sampai engkau mengikuti jalan orang-orang yang sesat dan menyesatkan setelah engkau jadikan Allah sebagai penunjuk jalan. Hati-hati wahai jiwaku, jangan engkau ingkar setelah beriman, jangan tersesat setelah engkau mendapat petunjuk, janganlah engkau menjadi fasiq setelah beriltizam (komitmen) … Barang siapa melanggar maka akibatnya akan menimpa dirinya, barang siapa tersesat maka kesesatannya itu akan menimpanya.
Bila Anda mengharuskan diri untuk komitmen terhadap janji yang diikrarkan 17 kali dalam sehari itu, kemudian anda mewajibkan supaya anda meniti tangga menuju ikrar tersebut … maka anda telah meniti tangga menuju taqwa.
2.      MUSYARATHAH (Penetapan Syarat) (16:91)
Jiwa dan hati memerlukan ikatan janji harian. Jika manusia tidak mengikat jiwanya dengan janji harian niscaya akan mendapati jiwanya telah banyak menyimpang, sebagaimana akan mendapati hatinya telah kesat dan lalai.
Caranya : Apabila hamba memasuki waktu shubuh dan telah usai melaksanakan shalat shubuh maka hendaknya ia meluangkan hatinya sesaat untuk menetapkan syarat terhadap jiwa seraya berkata kepada jiwa: Aku tidak mempunyai barang dagangan kecuali umur; jika ia habis maka habislah modal sehingga tidak ada harapan untuk melakukan perdagangan dan mencari keuntungan. Di hari yang baru ini Allah telah memberi tempo kepadaku. Dia memperpanjang usiaku dan melimpahkan nikmat kepadaku dengan usia tersebut. Seandainya Allah mematikan aku niscaya aku berandai-andai sekiranya Allah mengembalikan aku ke dunia sehari saja agar aku dapat beramal shalih. Anggaplah wahai jiwa bahwa engkau telah meninggal kemudian dikembalikan lagi ke dunia, maka janganlah sampai kamu menyia-nyiakan hari ini, karena setiap nafas adalah mutiara yang tiada terkira nilainya. Ketahuilah wahai jiwa, bahwa sehari semalam adalah duapuluh empat jam, maka bersungguh-sungguhlah pada hari ini untuk mengumpulkan bekalmu dan janganlah engkau biarkan perbendaharaanmu kosong, dan janganlah kamu cenderung kepada kemalasan, kelesuan dan santai sehingga kamu tidak dapat meraih derajat ‘illiyyin sebagaimana orang selainmu telah mendapatkannya.
3.      MURAQABAH (Pengawasan)
“Dan bertawakkallah kepada (Allah) Yang Maha Perkasa lagi Maha Penyayang. Yang melihat kamu ketika kamu berdiri (untuk sembahyang) dan (melihat pula) perobahan gerak badanmu di antara orang-orang yang sujud.” (Asy Syu’araa’ 217-219)
Makna : merasakan keagungan Allah di setiap waktu dan keadaan serta merasaka kebersamaan-Nya di kala sepi ataupun ramai.
Caranya : Sebelum memulai suatu pekerjaan dan disaat mengerjakannya, hendaklah seorang mu’min memeriksa dirinya … Apakah setiap gerak dalam melaksanakan amal dan ketaatannya dimaksudkan untuk kepentingan pribadi ataukah karena dorongan ridha Allah dan menghendaki pahala-Nya? Jika benar-benar karena ridha Allah, maka ia akan melaksanakannya kendatipun hawa nafsunya tidak setuju dan ingin meninggalkannya. Kemudian ia menguatkan niat dan tekad untuk melangsungkan ketaatan kepada-Nya dengan keikhlasan sepenuhnya dan semata-mata demi mencari ridha Allah. Itulah hakikat ikhlas.
Macam-macam Muroqobah :
-          Muroqobah dalam melaksanakan ketaatan adalah dengan ikhlas kepada-Nya
-          Muroqobah dalam kemaksiatan adalah dengan taubat, penyesalan dan meninggalkannya secara total
-          Muroqobah dalam hal-hal yang mubah adalah dengan menjaga adab-adab terhadap Allah dan bersyukur atas segala nikmat-Nya
-          Muroqobah dalam musibah adalah dengan ridha kepada ketentuan Allah serta memohon pertolongan-Nya dengan penuh kesabaran.
4.      MUHASABAH (introspeksi diri) setelah Beramal
Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat), dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan. (Al Hasyr:18)
Muhasabah ialah : Hendaklah seorang mu’min menghisab dirinya sendiri ketika selesai melakukan amal perbuatan … apakah tujuan amalnya untuk mendapatkan ridah Allah? Atau apakah amalnya dirembesi sifat riya’? Apakah dia sudah memenuhi hak-hak Allah dan hak-hak manusia?….
5.      MU’AQABAH (Menghukum Diri atas Segala Kekurangan)
“Dan dalam kisas itu ada (jaminan kelangsungan) hidup bagimu, wahai orang-orang yang berakal, supaya kamu bertakwa.” (QS. Al-Baqarah 2:179)
Apabila seorang mu’min menemukan kesalahan maka tak pantas baginya untuk membiarkannya. Sebab membiarkan diri dalam kesalahan akan mempermudah terlanggarnya kesalahan-kesalahan yang lain dan akan semakin sulit untuk meninggalkannya. Bahkan sepatutnya dia memberikan sanksi atas dirinya dengan sanksi yang mubah (Misalnya dengan menginfakkan sejumlah harta, atau dengan mengerjakan beberapa raka’at shalat sunat). Hal ini merupakan peringatan baginya agar tidak menyalahi ikrar, disamping merupakan dorongan untuk lebih bertaqwa dan bimbingan menuju hidup yang lebih mulia.
6.      MUJAHADAH (Bersungguh-sungguh memaksa diri)
“Dan orang-orang yang berjihad untuk (mencari keridhaan) Kami, benar-benar akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami. Dan sesungguhnya Allah benar-benar beserta orang-orang yang berbuat baik.” (Al Ankabuut:69)
Apabila seorang mu’min terseret dalam kemalasan, santai, cinta dunia dan tidak lagi melaksanakan amal-amal sunnah serta ketaatan yang lainnya tepat pada waktunya maka ia harus memaksa dirinya melakukan amal-amal sunnah lebih banyak dari sebelumnya.
Hal-hal yang harus diperhatikan :
·         Hendaklah amal-amal yang sunnah tidak membuatnya lupa akan kewajiban yang lainnya
·         Tidak memaksakan diri dengan amal-amal sunnah yang di luar kemampuannya
7.      MU’ATABAH (Mencela Diri)
      Jalan yang harus Anda tempuh adalah berkonsentrasi menghadapinya lalu menyadarkan akan kebodohan dan kedunguannya. Katakanlah kepadanya, “Wahai jiwa, betapa besar kebodohanmu; kamu mengaku bijaksana, cerdas dan tanggap padahal kamu sangat bodoh dan dungu! Tidakkah kamu tahu di hadapanmu ada sorga dan neraka dan bahwa kamu pasti segera memasuki salah satunya? Mengapa kamu berbangga dan sibuk dengan permainan padahal kamu dituntut perkara yang mahapenting? Hari ini atau esok hari kamu bisa saja kamu meninggal, tetapi mengapa aku melihatmu memandang kematian sangat jauh padahal Allah melihatnya sangat dekat? Mengapa kamu tidak bersiap-siap menghadapi kematian padahal ia lebih dekat kepadamu dari setiap hal yang dekat?
Tujuan munajat orang-orang ahli ibadah adalah mencari ridha-Nya dan maksud celaan mereka adalah memperingatkan dan meminta perhatian. Siapa yang mengabaikan mu’atabah dan munajat berarti ia tidak menjaga jiwanya, dan bisa jadi tidak mendapatkan ridha Allah.
Bagian II : Faktor-faktor yang berkaitan dengan kepekaan jiwa
1.       Mengingat kematian dan kehidupan sesudahnya
Apabila seorang mu’min senantiasa mengingat bahwa kematian pasti akan menjemputnya, kemudian ia pasti akan ditanya dalam kesendiriannya di alam kubur…Selalu mengingat bahwa kubur itu baginya bisa jadi taman surga atau jurang neraka…Bila semua itu selalu terbayang dibenaknya, maka bisa dipastikan hatinya akan peka terhadap rasa takut kepada Allah dan muroqobah-Nya setiap saat dan di segala tempat. Bahkan jiwa dan raganya akan bangkit untuk melakukan amal-amal sholeh guna mempersiapkan bekal untuk hari yang dijanjikan.
2.       Membayangkan hari akhirat dan hal-hal yang berkaitan dengannya
      Tatkala seorang mu’min membayangkan peristiwa-peristiwa yang dihadapi oleh ahli surga atau juga ahli neraka… Tatkala mengenal lebih dekat keadaan mereka di padang mahsyar, ketika dimulainya timbangan dibagikannya kitab-kitab amal dan dimualinya penitian jembatan…Ketika menghayati keadaan orang-orang yang masuk surga dengan berbagai kenikmatan yang dijanjikan oleh Allah dan berbagai macam kesengsaraan dan siksaan yang sudah disediakan…Seorang da’i ketika membayangkan semua itu pasti akan bersungguh-sungguh dalam beribadah dan berusaha lebih dekat kepada Allah.
Bagian III : Faktor-faktor amaliyah yang menumbuhsuburkan ruhiyah
1.    Memperbanyak Tilawah Al-Qur’an dan Tadabbur
Bacaan yang disertai tadabbur yang khusyu’ mampu mempertajam pandangan yang sudah tumbul, merupakan pemusnah pandangan-pandangan yang sempit dan obat bagi hati yang sedang sakit. Apabila seorang mu’min sudah konsisten membaca Al-Qur’an dengan tenang, tadabbur dan khusyu’, maka akan terbukalah belenggu-belenggu yang memborgol hatinya dan akan terpancar pula cahaya Al-Qur’an di dalam hatinya.
Rasulullah selalu membaca Al-Qur’an secara dawam (rutin). Beliau memohon kepada Allah agar menjadikan Al-Qur’an sebagai taman dalam hatinya, cahaya bagi pandangannya, penghapus duka dan pemusnah kebingungan.
Cukuplah bagi pembaca Al-Qur’an kemuliaan dan kebanggaan bahwa Al-Qur’an sebagai pemberi syafa’at di hari kiamat nanti.
Dan cukuplah bagi pembaca Al-Qur’an kejayaan dan keagungan karena mereka akan bersama-sama dengan para malaikat.
Cukuplah pahala bagi orang yang membaca Al-Qur’an karena baginya dari setiap huruf sepuluh kebaikan.
2.    Hidup Bersama Rasulullah Melalui Sirahnya yang Harum Semerbak
      Hal ini karena Nabi sebagai uswah hasanahqudwah sholihah dan figure yang sempurna bagi semua ummat manusia di sepanjang masa.
“Sesungguhnya telah ada dalam (diri) Rasulullah itu suri tauladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari Kiamat dan dia banyak menyebut nama Allah.” (al-Ahzab:21)
      Da’i adalah orang yang mempelopori mencontoh Nabi di semua sisi kehidupannya. (Ibadah, kezuhudan, atau dalam sifat tawadlu’ dan kebijaksanaan. Baik mengenai kekuatan fisik dan keberanian, atau tentang hal-hal yang berkaitan dengan politik dan keteguhan mempertahankan kebenaran(Islam).
      Diantara fenomena yang paling nampak untuk dicontoh dari Nabi adalah bagaimana beliau menyatukan agama dan dunia, ibadah dan kehidupan, tazkiyah (mensucikan jiwa) dan jihad. Semua itu beliau lakukan tanpa menimbulkan ketimpangan dalam segi apa pun.
Mencontoh Ibadah Nabi
      Hendaklah selalu terbayang dibenaknya bahwa sesungguhnya Nabi selalu beribadah sepanjang malam, hanya sedikit beliau sisakan untuk istirahat. Bahkan bertahajjud malam hari sampai tumitnya bengkak. Hendaklah seorang da’i selalu siap dan bersungguh-sungguh dalam melaksanakan ibadah-ibadah sunnah selama masih sanggup.
Mencontoh Kezuhudan Nabi
      Nabi tak pernah makan roti sampai kenyang dalam tempo tiga hari berturut-turut, sejak beliau datang di Madinah sampai ajal menjemputnya. Padahal kalau mau, beliau bisa melakukannya. Hendaklah setiap da’i selalu waspada dan mengekang diri dari kesenangan-kesenangan duniawi semampu mungkin.
Mencontoh Ketaqwaan Rasulullah
Nabi duduk tanpa alas, beliau makan bersama pembantu, menjahit sendiri pakaiannya, memperbaiki sandalnya, membantu pekerjaan istrinya, menanggapi panggilan orang yang merdeka, pembantu dan budak belian. Duduk di mana saja dalam pertemuan… Hendaklah seorang da’i selalu waspada dan merendahkan hati di hadapan orang-orang mu’min lainnya sebisa mungkin.
Mencontoh Kesabaran dan Kelembutan Nabi
Hendaklah terbayang dibenak apa yang disabdakan Rasulullah setelah penaklukan Makkah kepada orang-orang yang dulu bersikeras menentangnya, mengeluarkannya dari negerinya dan bersekongkol untuk menghabisi nyawanya. Beliau bersabda; “Wahai sekalian orang Quraisy, apa kira-kira yang akan aku lakukan terhadap kalian?” Mereka menjawab; “Engkau adalah saudara yang mulia dan anak saudara yang mulia” Kemudian beliau melanjutkan; “Pergilah, kalian semua bebar”. Hendaklah seorang da’i selalu memberi ma’af dengan sebaik-baiknya sebisa mungkin.
Mencontoh Keteguhan Nabi dalam Mempertahankan Prinsip
Keteguhan Nabi yang langka dan keberanian beliau yang mengagumkan terhadap orang-orang musyrik Quraisy. Yaitu disaat beliau berkata kepada pamannya; “Paman, demi Allah, seandainya mereka meletakkan matahari di tanganku dan bulan di tangan kiriku supaya aku meninggalkan urusan ini (da’wah), aku tidak akan meninggalkannya sehingga Allah memenangkan da’wah atau aku binasa karenanya”. Hendaklah seorang da’i menyatakan kebenaran sebisa mungkin.
Mencontoh Kekuatan Fisiknya
Rasulullah sanggup mengalahkan ‘Rokanah’ tiga kali dalam adu gulat, bagaimana beliau mampu meladeni tantangan Ubai bin Kholaf di perang Uhud.  Bagaimana para shahabat meminta bantuan kepada beliau untuk memecahkan sebuah batu dalam parit (perang Khondak). Hendaklah seorang da’i memelihara kekuatan fisiknya sesuai kemampuan.
Mencontoh Keberanian Rasulullah
Bagaimana sikap Rasulullah yang tegas dalam perang Hunain, yaitu ketika tantangan dunia menuntut keberanian yang tegar. Ketika itu beliau bersabda; “Aku Nabi, aku tidak dusta. Aku Putra Abdul Mutholib” Hendaklah seorang da’i sanggup memasuki kancah peperangan sebisa mungkin.
3.    Selalu Menyertai Orang-orang Pilihan, Yakni Mereka Yang Berhati Bersih
      Da’i lebih patut untuk menyertai orang-orang yang bertaqwa dan bergaul dengan orang-orang yang berhati bersih dan ma’rifat kepada Allah.
Pertama: Karena Islam memerintahkan agar selalu menyertai mereka
“Hai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kepada Allah, dan hendaklah kamu beserta orang-orang yang benar.” (at-Taubah 9:119)
Ulama salaf berkata “Bershahabatlah dengan orang-orang yang keadaannya bisa menunjukkan kamu ke jalan Allah”.
Orang-orang pilihan yang mengenal Allah memiliki ciri-ciri diantaranya :
-          Komitmen terhadap syariat Islam dengan niat yang ikhlas, jujur dalam keta’atan dan kontinyu dalam beramal
-          Dalam diri mereka tidak nampak adanya kemaksiatan, bid’ah atau apa pun yang menyalahi syariat. Sebab mereka adalah orang-orang yang bersih, memiliki komitmen dan menjadi teladan.
-          Mereka menyibukkan diri dengan kelemahan dan aib yang ada pada dirinya. Mereka tidak pernah sibuk dengan aib-aib orang lain
-          Mereka melaksanakan tugas amar ma’ruf nahi munkar dengan kekuatan iman dan keberanian jiwa
-          Di wajah mereka nampak adanya cahaya keimanan dan taqwa
-          Mereka memperhatikan ummat Islam dan bersemangat menghadapi segala permasalahan yang dihadapi ummat
-          Bergerak secara jujur demi tanggung jawab da’wah dan punya semangat yang ikhlas dalam perbaikan ummat dan jihad
Jika seorang da’i menemukan penyeru kebenaran dengan ciri-ciri tersebut, maka hendaklah berusaha untuk menemani mereka, selalu hadir dalam majlis mereka, tanpa bosan atau merasa tidak perlu.
Hendaklah seorang da’i bersikap hati-hati terhadap da’i yang buruk.
Kedua : Untuk mendapatkan ketaqwaan, spritualitas dan nasehat dari mereka.
Jika seorang da’i sudah menyertai orang-orang pilihan seperti mereka, niscaya ia akan mendapatkan ketaqwaan dari mereka, mereguk kekuatan rohani dari ucapan dan perilaku mereka. Ia akan mendapatkan dari mereka hal-hal yang bermanfa’at bagi agama, dunia dan akhiratnya. Bahkan secara otomatis ia akan naik bertahap menuju kematangan, kesempurnaan dan ma’rifat kepada Allah.
4.    Dzikir Kepada Allah Disetiap Waktu dan Keadaan
“Maka ingatlah kepada-Ku, niscaya Aku ingat (pula) kepadamu. Dan bersyukurlah kepada-Ku dan janganlah kamu mengingkari (nikmat)-Ku.” (Al-Baqarah:152)
“Hai orang-orang yang beriman, berdzikirlah (dengan menyebut nama) Allah, dzikir yang sebanyak-banyaknya. Dan bertasbihlah kepada-Nya di waktu pagi dan petang.” (Al-Ahzab 33:103)
“Perumpamaan orang yang berdzikir kepada Allah dibandingkan dengan yang tidak berdzikir adalah bagaikan orang yang hidup dengan orang yang mati”. (HR. Bukhari)
“Di hari kiamat nanti Allah akan mendatangkan satu kaum, wajah mereka bercahaya, mereka berdiri di atas mimbar terbuat dari mutiara, semua orang merasa iri kepada mereka. Mereka bukan Nabi dan bukan pula syuhada”. Seorang Arab badui bangkit dari duduknya sampai setengah berdiri, kemudian bertanya, “Ya Rasulullah sebutkan ciri-ciri mereka agar kami tahu. Rasulullah menjawab; “Mereka adalah orang-orang yang saling mencintai di jalan Allah, mereka terdiri dari suku dan negeri yang berbeda, mereka berkumpul untuk berdzikir kepada Allah”. (HR. Thabrani)
Dzikir adalah Merasakan keagungan Allah dalam semua kondisiBisa berupa dzikir fikiran, hati, lisan atau perbuatan.  Dzikir perbuatan mencakup tilawah, ibadah dan keilmuan. Ma’na dzikir seperti inilah yang banyak dijelaskan oleh Al-Qur’an dan hadits. (QS. 24:37; QS. 13:28)
Jika seorang mu’min ingin selalu menemukan kenikmatan dan ketentraman dzikrullah di relung hatinya, hendaklah ia merasakan adanya keagungan Allah tertancap dalam hati, merasuk dalam jiwa.
Termasuk dzikir lisan adalah semua do’a dan Ma’tsurat. Termasuk dzikir juga, semua permohonan bantuan dari Allah dan semua istighfar yang tercantum dalam Al-Qur’an atau diriwayatkan dari Nabi.
Berkaitan dengan ma’na dzikir dengan perbuatan yang mencakup ibadah :
Hai orang-orang yang beriman, apabila diseru untuk menunaikan sembahyang pada hari Jum’at, maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli. Yang demikian itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui. (AlJumu’ah:9)
Berkaitan dengan dzikrullah dengan perbuatan yang mencakup ilmu pengetahuan
“… maka tanyakanlah olehmu kepada orang-orang yang berilmu, jika kamu tidak mengetahui.” (QS. Al-Anbiya 21:7)
Bersungguh-sungguhlah dalam berdzikir kepada Allah secara kontinyu.
5.    Menangis Karena Takut Kepada Allah Disaat Berkhalwat
      Manakala seorang da’i berkholwat dengan Robbnya, dia akan mengingat kembali dosa-dosanya yang telah lalu dan mungkin terjadi. Membayangkan neraka jahannam dan semua kejadian yang mengerikan. Membayangkan hari akhirat dan semua peristiwa-peristiwanya. Terbayang di benaknya kematian dan apa-apa yang terjadi sesudahnya. Dia bandingkan antara amal-amalnya dengan amal-amal assabiqiin al awwaliin (generasi shahabat). Dengan itu semua, niscaya hatinya akan terenyuh, jiwanya tergetar, dan air matanya meleleh. Setelah peringatan seperti ini ia akan kembali menghadap Robbnya dengan bertobat, beristighfar, berdzikir, menjaga batasan-batasan-Nya. Bahkan ia akan termasuk mereka yang berlomba dalam melaksanakan amal kebaikan, bersegera dalam manta’ati-Nya, dan tunduk patuh kepada Robbul’alamin.
      Menangis adalah karena adanya rasa takut. Takut mati sebelum bertobat, takut dari istidtoj (pemberian tanpa rodha-Nya) dengan berbagai nikmat yang menyebabkan suul khotimah, takut dari neraka dan berbagai siksa di dalamnya, takut diharamkannya surga dan berbagai kenikmatan yang ada di dalamnya. Lebih dari itu semua ada rasa takut dari sifat riya’ tatkala beribadah, sifat ujub disaat berkecukupan, sifat nifaq ketika bergaul, sifat ghurur (lupa diri) ketika mendapatkan dunia serta sifat-sifat lainnya yang tergolong dalam penyakit hati dan kelemahan jiwa.
Orang yang paling takut adalah orang yang paling mengetahui dirinya dan Robbnya.
Beberapa Keutamaan Menangis Karena Takut Kepada Allah
A.    Mereka berada di Bawah Naungan Allah di Hari Kiamat
“Tujuh golongan yang dinaungi oleh Allah disaat tidak ada naungan selain naungan-Nya … (diantaranya) seseorang yang berdzikir kepada Allah menyendiri, dan menangis karenanya”.
B.    Mereka terbebas dari Adzab Allah
“Dua jenis mata yang tidak tersentuh oleh api neraka, mata yang menangis karena takut kepada Allah dan mata yang piket malam fi sabilillah” (HR. Turmudzi)
C.    Mereka Berada Dalam Limpahan Cinta Kasih Ilahi
“Tidak ada yang lebih dicintai Allah dari dua tetes dan du bekas; tetes-tetes air mata karena takut kepada Allah dan tetes-tetes darah yang tertumpah fi sabilillah. Dua bekas tersebut adalah bekas berjihad di jalan Allah dan bekas dalam kewajiban yang Allah wajibkan (shalat berjama’ah) (HR Turmudzi)
D.    Mereka Berada Dalam Ampunan dan Maghfirah-Nya.
“Apabila seorang hamba merinding karena takut kepada Allah maka dosa-dosanya berguguran bagai bergugurannya dedaunan dari pohon yang kering”. (HR Ibnu Hibban dan al-Baihaqi)
6.    Bersungguh-sungguh Membekali Diri Dengan Ibadah-ibadah Nafilah
“Dan pada sebagian malam hari shalat tahajudlah kamu sebagai suatu ibadah tambahan bagimu; mudah-mudahan Tuhan-mu Mengangkat kamu ke Tempat yang terpuji.” (QS. Al-Isra’ 17:79)
“Barangsiapa mendekat kepadaKu satu jengkal, maka Aku mendekat kepadanya satu siku, barangsiapa mendekat kepadaKu satu siku, maka Aku mendekat kepadanya satu depa dan barangsiapa mendekat kepadaKu dengan berjalan maka Aku mendekat kepadanya dengan berlari kecil …” (HR. Bukhari dan Muslim)
Yang dimaksud dengan nafilah adalah ibadah-ibadah sunnat selain ibadah fardhu, baik berupa shalat, shaum, shadaqah, dll.
a.    Shalat Nafilah
          i.    Shalat Dhuha
“Setiap pagi ada kewajiban bershadawah bagi tiap-tiap persendian, dan bisa memadai semua dengan dua raka’at shalat Dhuha”. (HR. Muslim)
Shalat Dhuha sedikitnya dua raka’at, dan paling banyak delapan raka’at. Waktunya dimulai setengah jam setelah matahari terbit sampai satu jam menjelang dzuhur.
        ii.    Shalat Sunat Tahiyatul Masjid
“Jika salah seorang diantara kalian masuk masjid, maka janganlah duduk sehingga melaksanakan shalat dua raka’at.”(HR. Muslim)
       iii.    Shalat Sunnat Wudlu’
“Rasulullah berkata kepada Bilal, “Ceritakanlah kepadaku amal apa yang amat engkau harapkan dalam Islam, sebab aku mendengar suara kedua sandalmu di surga?” Bilal menjawab; “Tidak ada amal ibadah yang paling kuharapkan selain setiap aku berwudhu baik siang atau malam aku selalu shalat setelahnya sebanyak yang aku suka” (HR. Bukhari)
       iv.    Shalat Malam
“Shalat yang paling afdhol setelah shalat fardhu adalah shalat lail”.(Imam Turmudzi)
“Kalian harus shalat lail, sebab itulah jalan para sholihin, itulah pendekatan diri pada Robb kalian, penghapus kesusahan dan pemusnah dosa-dosa”. (HR. Turmudzi)
Shalat lail dilakukan minimal dua raka’at, afdholnya delapan rakaat, dan tidak ada batasan maksimalnya. Shalat lail adalah shalat nafilah yang paling afdhol secara keseluruhan, karena lebih memungkinkan untuk ikhlash dan jauh dari sifat riya’.
         v.    Shalat Tarawih
Yaitu shalat 11 raka’at atau 21 raka’at yang dilakukan di bulan Ramadhan.. Setiap dua raka’at salam. Dilaksanakan dengan berjama’ah setelah shalat Isya.
       vi.    Shalat sunnat rowatib
Yaitu shalat sunnat yang menyertai shalat fardhu.
Ibnu Umar berkata “Saya melaksanakan shalat bersama Nabi SAW dua raka’at sebelum dzuhur, dua rakaat sesudahnya, dua rakaa’at setelah jum’ah dan dua raka’at sesudah isya”. (HR. Bukhari dan Muslim)
“Diantara dua adzan ada shalat. Diantara dua adzan ada shalat. Diantara dua adzan ada shalat”. (HR. Bukhari, Muslim)
Dua adzan maksudnya adzan dan iqomah.
b.    Shaum Nafilah
“Tidaklah seorang hamba berpuasa satu hari fi sabilillah, melainkan Allah menjauhkan dia dari api neraka sejauh tujuh puluh tahun perjalanan” (HR. Muslim)
          i.    Puasa ‘Arafah
        ii.    Puasa ‘Aryuro dan Tasu’a
Yaitu puasa hari ke sembilan dan kesepuluh bulan Muharram.
       iii.    Shaum Enam Hari Pada Bulan Syawal
       iv.    Shaum Tiga Hari Bidh (Putih)
Penanggalan disini tentu menurut penanggalan Qomariyah (Hijriyah), sebab pada hari-hari tersebut bulan lebih jelas dan lebih terang.
         v.    Shaum Hari Senin dan Kamis
       vi.    Shaum Sehari dan Buka Sehari
Shaum adalah ibadah yang melatih seseorang agar mampu ikhlas dan meninggalkan sifat riya’, sebab tidak ada yang mengetahui orang yang berpuasa sunnat selain Allah. Dialah yang akan memberi pahala terhadap orang-orang yang berpuasa dengan balasan yang pantas.    
c.     Shadaqah Nafilah
Shadaqah nafilah termasuk amal ibadah yang memberikan masukkan besar bagi pelakunya, bahkan batasan jumlah pahala tersebut tidak terhingga dan hanya Allah-lah yang mengetahuinya.
Allah akan menggantikan harta yang dishadaqahkan, memberkahinya dan menambahkan karunia-Nya.
Keutamaan bershadaqah nafilah bahwa ia mampu melepaskan seorang mu’min dari sifat kikir dan melatih tumbuhnya sifat berkorban, suka berinfaq dan itsar (mementingkan orang lain)

Maraji’
Sa’id bin Muhammad Daib Hawwa, Mensucikan Jiwa : Konsep Tazkiyatun nafs Terpadu
Dr. Abdullah Nashih Ulwan, Tarbiyah Ruhiyah : Petunjuk Praktis Mencapai Derajat Taqwa

No comments:

Post a Comment