1. Fith-Thariq Ilallah,
An-Niyyah wal Ikhlas
1.a. PENGANTAR
Perkataan
ulama-ulama mengenai urgensi niat :
“Belajarlah
niat, karena niat lebih penting daripada amal …
Berapa
banyak amal yang remeh menjadi besar gara-gara niat dan berapa banyak amal yang
besar menjadi remeh gara-gara niat.”
Pentingnya niat tergambarkan dalam hadits
Nabi yang menceritakan tiga orang yang secara fisik mengerjakan amal kebajikan
yang besar tetapi karena tidak dilandasi oleh niat yang ikhlas, maka ketiganya
mendapatkan balasan neraka.
“Sesungguhnya
orang yang pertama-tama diadili pada hari kiamat adalah orang yang mati syahid.
Dia didatangkan ke pengadilan, diperlihatkan kepadanya nikmat-nikmatnya. Maka
diapun mengakuinya. Allah bertanya,’Apa yang engkau perbuat dengan nikmat-nikmat
itu?’ Dia menjawab, ‘Aku berperang karena Engkau hingga aku mati syahid’. Allah
berfirman,’Engkau dusta. Tetapi engkau berperang supaya dikatakan,’Dia adalah
orang yang gagah berani’. Dan, memang begitulah yang dikatakan (tentang
dirimu)’. Kemudian diperintahkan agar dia diseret dengan muka tertelungkup lalu
dilemparkan ke dalam neraka. Berikutnya (yang diadili) adalah seseorang yang
mempelajari ilmu dan mengajarkannya serta membaca Al-Qur’an. Dia didatangkan ke
pengadilan, lalu diperlihatkan kepadanya nikmat-nikmatnya. Maka dia pun
mengakuinya. Allah bertanya, ‘Apa yang engkau perbuat dengan nikmat-nikmat
itu?’ Dia menjawab, ‘Aku mempelajari ilmu dan mengajarkannya serta aku membaca
Al-Qur’an karena-Mu’. Allah berfirman, ‘Engkau dusta. Tetapi engkau mempelajari
ilmu agar dikatakan, ‘Dia adalah orang yang berilmu, dan engkau membaca
Al-Qur’an agar dikatakan, ‘Dia adalah qari’ (pandai membaca)’. Dan, memang
begitulah yang dikatakan (tentang dirimu)’. Kemudian diperintahkan agar dia
diseret dengan muka tertelungkup hingga dilemparkan ke dalam neraka. Berikutnya
(yang diadili) adalah orang yang diberi kelapangan oleh Allah dan juga
diberi-Nya berbagai macam harta. Lalu dia didatangkan ke pengadilan dan
diperlihatkan kepadanya nikmat-nikmatnya. Maka dia pun mengakuinya. Allah
bertanya, ‘Apa yang engkau perbuat dengan nikmat-nikmat itu?’ Dia menjawab,
‘Aku tidak meninggalkan satu jalan pun yang Engkau suka agar dinafkahkan harta
melainkan aku pun menafkahkannya karena-Mu’. Allah berfirman, ‘Engkau dusta.
Tetapi engkau melakukan hal itu agar dikatakan, ‘Dia seorang pemurah’. Dan,
memang begitulah yang dikatakan (tentang dirimu)’. Kemudian dia diperintahkan
agar diseret dengan wajah tertelungkup hingga dilemparkan ke dalam neraka (HR.
Muslim)
Mengapa mereka dibalas dengan adzab padahal
secara fisik mereka menunaikan suatu amal kebaikan (bahkan termasuk amal
kebaikan yang paling utama (infaq, jihad dan mengajar Al-Qur’an)) ?? Karena
mereka telah menipu Allah.
1.b. Makna
Ikhlasunniyah
Secara bahasa :
- Ikhlas
berasal dari kata khalasha yang berarti bersih / murni
- Niyat
berarti al-qoshdu, artinya maksud / tujuan
Secara istilah :
Ikhlasunniyat berarti membersihkan maksud dan motivasi
kepada Allah dari maksud dan niat lain. Hanya mengkhususkan Allah Azza wa Jalla
sebagai tujuan dalam berbuat.
Beberapa hal mengenai niat :
- Hakikat
niat : Niat adalah tujuan yang terdetik dalam hatimu
- Niat
ini merupakan amal hati secara murni, bukan amal lidah. (Maka dari itu
tidak pernah dikenal dari Nabi Shalallahu Alaihi wa Sallam adanya
niat dalam ibadah yang dilafazhkan. Tetapi yang kita lihat justru sebagian
orang ada yang melafazhkan niat itu)
1.c. Pentingnya
Ikhlasunniyah
1.
Merupakan ruhnya amal
Allah hanya menginginkan hakikat
amal, bukan rupa dan bentuknya. Maka dari itu Dia menolak setiap amal yang pelakunya tertipu dengan
amalnya. (Al-Hajj:37)
“Daging-daging
unta dan darahnya itu sekali-kali tidak dapat mencapai (keridhaan) Allah,
tetapi ketakwaan dari kamulah yang dapat mencapainya …” (Al Hajj : 37)
2.
Salah satu syarat diterimanya amal
“Allah
Azza wa Jalla tidak menerima amal kecuali apabila dilaksanakan dengan ikhlas
dalam mencari keridhaan-Nya semata.” (HR. Abu Daud dan Nasa’i)
Syarat diterimanya amal atau perbuatan :
- Bersungguh-sungguh
dalam melaksana-kannya
- Ikhlas
dalam berniat
- Sesuai dengan syariat Islam
(Al-Qur’an dan Sunnah)
3.
Penentu nilai/kualitas suatu amal. Satu jenis amal dapat berbeda nilai
pahalanya berdasarkan perbedaan niatnya
“Sesungguhnya
amal-amal itu hanya bergantung kepada niat. Dan, setiap orang hanya
memperoleh menurut apa yang diniatkan. Barangsiapa hijrahnya kepada Allah dan
Rasul-Nya, maka hijrahnya itu kepada Allah dan Rasul-Nya, dan barangsiapa
hijrahnya kepada dunia yang ingin didapatkannya, atau wanita yang hendak
dinikahinya, maka hijrahnya kepada apa ditujunya.” (HR. Al-Bukhary, Muslim, Abu
Daud, At-Tirmidzy dan An-Nasa’y)
4.
Dapat merubah amal-amal yang mubah dan tradisi menjadi ibadah.
Pekerjaan mencari rezki bisa menjadi ibadah
dan jihad fi sabilillahi selagi pekerjaan itu dimaksudkan untuk menjaga
dirinya dari hal-hal yang haram dan mencari yang halal.
Bahkan yang lebih mengagumkan lagi, nafsu
seksual yang disalurkan orang Mukmin kepada yang halal, bisa mendatangkan
pahala di sisi Allah.
“’Dalam persetubuhan salah seorang di antara kalian
terdapat shadaqah’. Mereka bertanya, ‘Wahai Rasulullah, apakah salah seorang di
antara kami melampiaskan birahinya dan dia mendapat pahala karenanya?’ Beliau
menjawab, ‘Bagaimana menurut kalian jika dia meletakkannya pada yang haram,
apakah dia mendapat dosa? Begitu
pula jika dia meletakkannya pada yang halal, maka dia mendapat pahala’.” (HR.
Muslim)
5.
Mendatangkan berkah dan pahala dari Allah,
bahkan sebelum ia melaksanakan amalnya
“Allah Azza wa Jalla berfirman, “Jika hamba-Ku hendak
mengerjakan suatu keburukan, maka janganlah kalian (para malaikat) menulisnya
sebagai dosa hingga dia mengerjakannya. Jika sudah mengerjakannya, maka
tulislah satu dosa yang sama dengannya, dan jika dia meninggalkannya karena
Aku, maka tulislah satu kebaikan baginya. Dan, jika dia hendak mengerjakan satu
kebaikan namun belum mengerjakannya, maka tulislah satu kebaikan baginya. Jika
dia sudah mengerjakannya, maka tulislah baginya sepuluh (pahala) kebaikan yang
serupa dengannya hingga tujuh ratus kebaikan”. (Diriwayatkan Al-Bukhary dan
Muslim)
“Barangsiapa
menghampiri tempat tidurnya, sedang dia berniat hendak bangun untuk shalat dari
sebagian waktu malam, namun dia tertidur hingga pagi hari, maka ditetapkan
baginya seperti yang diniatkannya, dan hal itu merupakan shadaqah atas dirinya
dari Rabbnya.”
“Barangsiapa
sungguh-sungguh memohon mati syahid kepada Allah, maka Allah menghantarkannya
ke kedudukan orang-orang yang mati syahid, sekalipun dia mati di atas tempat
tidurnya”
1.d. Cara-cara untuk menumbuhkan niat
yang ikhlas
1.
Senantiasa meluruskan niat sebelum mulai
beramal.
Sediakan waktu sejenak setiap akan
memulai suatu amal untuk memastikan bahwa dorongan motivasi beramal itu memang
benar-benar untuk semata-mata mencapai keridhaan Allah dan bukan untuk
ambisi-ambisi lainnya. Setelah niat dalam diri benar, barulah beramal.
2.
Menyerahkan segala cintanya hanya kepada Allah, rasul dan akhirat
3.
Ilmu yang mantap
Ikhlas tidak bisa menjadi sempurna
kecuali dengan membaca dan mengamati kandungan di dalam Al-Qur’an dan Sunnah
yang membicarakan masalah itu atau membaca perkataan orang-orang shalih. Tidak
mungkin seseorang menghadap ke sesuatu di luar jangkauan pengetahuannya.
4.
Berteman dengan orang-orang yang ikhlas
Agar bisa mengikuti irama langkah mereka,
mengambil pelajaran dari mereka dan mencontoh akhlak mereka.
5.
Membaca sirah orang-orang Mushlih
Mengenali kehidupan mereka,
mengikuti jejak dan petunjuk mereka.
6.
Mujahadah terhadap nafsu
Maksudnya, mengarahkan kehendak
untuk memerangi hawa nafsu yang menjurus kepada keburukan, mengendalikan
egoisme dan kecenderungan kepada keduniaan, hingga ikhlas karena Allah.
“Dan orang-orang yang berjihad untuk (mencari keridhaan)
Kami, benar-benar akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami. Dan
sesungguhnya Allah benar-benar beserta orang-orang yang berbuat baik.”
(Al-‘Ankabut : 69)
7.
Berdo’a dan memohon pertolongan kepada Allah.
1.e. Bukti-bukti
Penguat Ikhlas (Pengayaan)
Pertama : Takut Ketenaran
Ketenaran
itu sendiri tidak tercela. Tetapi yang tercela itu mencari ketenaran.
Kedua
: Menuduh Diri Sendiri
Orang
yang mukhlis senantiasa menuduh diri sendiri sebagai orang yang
berlebih-lebihan di sisi Allah dan kurang dalam melaksanakan berbagai
kewajiban, tidak mampu menguasai hatinya karena terpedaya oleh suatu amal dan
taajub terhadap diri sendiri. Bahkan dia senantiasa takut andaikata keburukan-keburukannya
tidak diampuni dan takut kebaikan-kebaikannya tidak diterima.
Ketiga
: Beramal Secara Diam-diam Jauh dari Sorotan
Amal
yang dilakukan secara diam-diam harus lebih disukai daripada amal yang disertai
sorotan dan diekspos.
Keempat
: Tidak Menuntut Pujian dan Tidak Terkecoh Oleh Pujian
Orang-orang
memujimu dari persangkaan mereka tentang dirimu. Maka jadilah engkau orang yang
mencela dirimu sendiri karena apa yang engkau ketahui pada dirimu. Orang
yang paling bodoh adalah yang meninggalkan keyakinannya tentang dirinya karena
ada persangkaan orang-orang tentang dirinya.
Kelima : Tidak Kikir Pujian terhadap Orang Yang Memang
Layak Dipuji
Boleh jadi seseorang tidak mau memberikan pujian kepada
orang yang layak dipuji, karena ada maksud tertentu di dalam dirinya atau
karena rasa iri yang disembunyikan. Karena dia juga tidak mampu untuk
melemparkan celaan, maka setidak-tidaknya dia hanya diam dan tidak perlu
menyanjungnya
Keenam : Berbuat Selayaknya dalam Memimpin
Orang yang mukhlis karena Allah akan berbuat selayaknya
ketika menjadi pemimpin di barisan terdepan dan tetap patriotic ketika berada
di barisan paling belakang. Hatinya tidak dikuasai kesenangan untuk tampil.
Tetapi dia lebih mementingkan kemaslahatan bersama karena takut ada kewajiban
dan tuntutan kepemimpinan yang dia lewatkan.
Dia
tidak ambisi dan tidak menuntut kedudukan untuk kepentingan dirinya sendiri.
Tetapi jika dia dibebani tugas sebagai pemimpin, maka dia melaksanakannya dan
memohon pertolongan kepada Allah agar dia mampu melaksanakannya dengan baik.
Ketujuh
: Mencari Keridhaan Allah, Bukan Keridhaan Manusia
Tidak
mempedulikan keridhaan manusia jika di balik itu ada kemurkaan Allah. Sebab
satu orang dengan yang lain saling berbeda dalam sikap. Berusaha membuat mereka
ridha adalah sesuatu yang tidak bertepi.
Kedelapan : Menjadikan Keridhaan dan Kemarahan Karena
Allah, Bukan Karena Pertimbangan Pribadi
Boleh jadi engkau pernah melihat orang-orang yang aktif
dalam medan
dakwah, apabila ada salah seorang rekannya melontarkan perkataan yang
mengganggu atau melukai perasaannya, atau ada tindakan yang menyakiti hatinya,
maka secepat itu pula dia marah, lalu meninggalkan harakah.
Ikhlas menuntutnya untuk tegar dalam dakwah dan gerak
langkahnya, sekalipun orang lain menyalahkan, meremehkan dan bertindak kelewat
batas terhadap dirinya. Sebab dia berbuat karena Allah.
Kesembilan : Sabar Sepanjang Jalan
Perjalanan yang panjang, lambatnya hasil yang diperoleh,
kesuksesan yang tertunda, kesulitan dalam bergaul dengan berbagai lapisan manusia
dengan perbedaan perasaan dan kecenderungan mereka, tidak boleh membuatnya
menjadi malas, bersikap santai, mengundurkan diri, atau berhenti di tengah
jalan. Sebab dia berbuat bukan sekedar untuk sebuah kesuksesan atau pun
kemenangan, tetapi yang paling pokok tujuannya adalah untuk keridhaan Allah dan
mengikuti perintah-Nya.
Kesepuluh : Rakus terhadap Amal Yang Bermanfaat
Dia senang melakukan puasa nafilah dan shalat dhuha. Tapi
sekalipun waktunya habis untuk mendamaikan orang-orang yang sedang bertikai,
maka justru inilah yang lebih dia pentingkan.
Kesebelas : Menghindari Ujub
Yaitu tidak merusak amal dengan ujub, merasa senang
dan puas terhadap amal yang telah dilakukannya. Yang seharusnya dilakukan orang
Mukmin setelah melaksanakan suatu amal ialah takut kalau-kalau dia telah
melakukan kelalaian, disadari maupun tidak disadari.
Maraji’
Dr. Yusuf Qardhawi : Niat dan Ikhlas
No comments:
Post a Comment