Friday, January 11, 2013

Niat dan Ikhlas


1. Fith-Thariq Ilallah, An-Niyyah wal Ikhlas

1.a.   PENGANTAR

Perkataan ulama-ulama mengenai urgensi niat :
“Belajarlah niat, karena niat lebih penting daripada amal …
Berapa banyak amal yang remeh menjadi besar gara-gara niat dan berapa banyak amal yang besar menjadi remeh gara-gara niat.”
Pentingnya niat tergambarkan dalam hadits Nabi yang menceritakan tiga orang yang secara fisik mengerjakan amal kebajikan yang besar tetapi karena tidak dilandasi oleh niat yang ikhlas, maka ketiganya mendapatkan balasan neraka.
“Sesungguhnya orang yang pertama-tama diadili pada hari kiamat adalah orang yang mati syahid. Dia didatangkan ke pengadilan, diperlihatkan kepadanya nikmat-nikmatnya. Maka diapun mengakuinya. Allah bertanya,’Apa yang engkau perbuat dengan nikmat-nikmat itu?’ Dia menjawab, ‘Aku berperang karena Engkau hingga aku mati syahid’. Allah berfirman,’Engkau dusta. Tetapi engkau berperang supaya dikatakan,’Dia adalah orang yang gagah berani’. Dan, memang begitulah yang dikatakan (tentang dirimu)’. Kemudian diperintahkan agar dia diseret dengan muka tertelungkup lalu dilemparkan ke dalam neraka. Berikutnya (yang diadili) adalah seseorang yang mempelajari ilmu dan mengajarkannya serta membaca Al-Qur’an. Dia didatangkan ke pengadilan, lalu diperlihatkan kepadanya nikmat-nikmatnya. Maka dia pun mengakuinya. Allah bertanya, ‘Apa yang engkau perbuat dengan nikmat-nikmat itu?’ Dia menjawab, ‘Aku mempelajari ilmu dan mengajarkannya serta aku membaca Al-Qur’an karena-Mu’. Allah berfirman, ‘Engkau dusta. Tetapi engkau mempelajari ilmu agar dikatakan, ‘Dia adalah orang yang berilmu, dan engkau membaca Al-Qur’an agar dikatakan, ‘Dia adalah qari’ (pandai membaca)’. Dan, memang begitulah yang dikatakan (tentang dirimu)’. Kemudian diperintahkan agar dia diseret dengan muka tertelungkup hingga dilemparkan ke dalam neraka. Berikutnya (yang diadili) adalah orang yang diberi kelapangan oleh Allah dan juga diberi-Nya berbagai macam harta. Lalu dia didatangkan ke pengadilan dan diperlihatkan kepadanya nikmat-nikmatnya. Maka dia pun mengakuinya. Allah bertanya, ‘Apa yang engkau perbuat dengan nikmat-nikmat itu?’ Dia menjawab, ‘Aku tidak meninggalkan satu jalan pun yang Engkau suka agar dinafkahkan harta melainkan aku pun menafkahkannya karena-Mu’. Allah berfirman, ‘Engkau dusta. Tetapi engkau melakukan hal itu agar dikatakan, ‘Dia seorang pemurah’. Dan, memang begitulah yang dikatakan (tentang dirimu)’. Kemudian dia diperintahkan agar diseret dengan wajah tertelungkup hingga dilemparkan ke dalam neraka (HR. Muslim)
Mengapa mereka dibalas dengan adzab padahal secara fisik mereka menunaikan suatu amal kebaikan (bahkan termasuk amal kebaikan yang paling utama (infaq, jihad dan mengajar Al-Qur’an)) ?? Karena mereka telah menipu Allah.

1.b.   Makna Ikhlasunniyah

Secara bahasa :
  • Ikhlas berasal dari kata khalasha yang berarti bersih / murni
  • Niyat berarti al-qoshdu, artinya maksud / tujuan
Secara istilah :
Ikhlasunniyat berarti membersihkan maksud dan motivasi kepada Allah dari maksud dan niat lain. Hanya mengkhususkan Allah Azza wa Jalla sebagai tujuan dalam berbuat.
Beberapa hal mengenai niat :
  • Hakikat niat : Niat adalah tujuan yang terdetik dalam hatimu
  • Niat ini merupakan amal hati secara murni, bukan amal lidah. (Maka dari itu tidak pernah dikenal dari Nabi Shalallahu Alaihi wa Sallam adanya niat dalam ibadah yang dilafazhkan. Tetapi yang kita lihat justru sebagian orang ada yang melafazhkan niat itu)

1.c.  Pentingnya Ikhlasunniyah

1.    Merupakan ruhnya amal
Allah hanya menginginkan hakikat amal, bukan rupa dan bentuknya. Maka dari itu Dia menolak setiap amal yang pelakunya tertipu dengan amalnya. (Al-Hajj:37)
“Daging-daging unta dan darahnya itu sekali-kali tidak dapat mencapai (keridhaan) Allah, tetapi ketakwaan dari kamulah yang dapat mencapainya …” (Al Hajj : 37)
2.    Salah satu syarat diterimanya amal
“Allah Azza wa Jalla tidak menerima amal kecuali apabila dilaksanakan dengan ikhlas dalam mencari keridhaan-Nya semata.” (HR. Abu Daud dan Nasa’i)
Syarat diterimanya amal atau perbuatan :
  1. Bersungguh-sungguh dalam melaksana-kannya
  2. Ikhlas dalam berniat
  3. Sesuai dengan syariat Islam (Al-Qur’an dan Sunnah)

3.    Penentu nilai/kualitas suatu amal. Satu jenis amal dapat berbeda nilai pahalanya berdasarkan perbedaan niatnya
“Sesungguhnya amal-amal itu hanya bergantung kepada niat. Dan, setiap orang hanya memperoleh menurut apa yang diniatkan. Barangsiapa hijrahnya kepada Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya itu kepada Allah dan Rasul-Nya, dan barangsiapa hijrahnya kepada dunia yang ingin didapatkannya, atau wanita yang hendak dinikahinya, maka hijrahnya kepada apa ditujunya.” (HR. Al-Bukhary, Muslim, Abu Daud, At-Tirmidzy dan An-Nasa’y)
4.    Dapat merubah amal-amal yang mubah dan tradisi menjadi ibadah.
Pekerjaan mencari rezki bisa menjadi ibadah dan jihad fi sabilillahi selagi pekerjaan itu dimaksudkan untuk menjaga dirinya dari hal-hal yang haram dan mencari yang halal.
Bahkan yang lebih mengagumkan lagi, nafsu seksual yang disalurkan orang Mukmin kepada yang halal, bisa mendatangkan pahala di sisi Allah.
“’Dalam persetubuhan salah seorang di antara kalian terdapat shadaqah’. Mereka bertanya, ‘Wahai Rasulullah, apakah salah seorang di antara kami melampiaskan birahinya dan dia mendapat pahala karenanya?’ Beliau menjawab, ‘Bagaimana menurut kalian jika dia meletakkannya pada yang haram, apakah dia mendapat dosa? Begitu pula jika dia meletakkannya pada yang halal, maka dia mendapat pahala’.” (HR. Muslim)
5.    Mendatangkan berkah dan pahala dari Allah, bahkan sebelum ia melaksanakan amalnya
“Allah Azza wa Jalla berfirman, “Jika hamba-Ku hendak mengerjakan suatu keburukan, maka janganlah kalian (para malaikat) menulisnya sebagai dosa hingga dia mengerjakannya. Jika sudah mengerjakannya, maka tulislah satu dosa yang sama dengannya, dan jika dia meninggalkannya karena Aku, maka tulislah satu kebaikan baginya. Dan, jika dia hendak mengerjakan satu kebaikan namun belum mengerjakannya, maka tulislah satu kebaikan baginya. Jika dia sudah mengerjakannya, maka tulislah baginya sepuluh (pahala) kebaikan yang serupa dengannya hingga tujuh ratus kebaikan”. (Diriwayatkan Al-Bukhary dan Muslim)
 “Barangsiapa menghampiri tempat tidurnya, sedang dia berniat hendak bangun untuk shalat dari sebagian waktu malam, namun dia tertidur hingga pagi hari, maka ditetapkan baginya seperti yang diniatkannya, dan hal itu merupakan shadaqah atas dirinya dari Rabbnya.”
 “Barangsiapa sungguh-sungguh memohon mati syahid kepada Allah, maka Allah menghantarkannya ke kedudukan orang-orang yang mati syahid, sekalipun dia mati di atas tempat tidurnya”

1.d.  Cara-cara untuk menumbuhkan niat yang ikhlas

1.    Senantiasa meluruskan niat sebelum mulai beramal.
Sediakan waktu sejenak setiap akan memulai suatu amal untuk memastikan bahwa dorongan motivasi beramal itu memang benar-benar untuk semata-mata mencapai keridhaan Allah dan bukan untuk ambisi-ambisi lainnya. Setelah niat dalam diri benar, barulah beramal.
2.    Menyerahkan segala cintanya hanya kepada Allah, rasul dan akhirat
3.    Ilmu yang mantap
Ikhlas tidak bisa menjadi sempurna kecuali dengan membaca dan mengamati kandungan di dalam Al-Qur’an dan Sunnah yang membicarakan masalah itu atau membaca perkataan orang-orang shalih. Tidak mungkin seseorang menghadap ke sesuatu di luar jangkauan pengetahuannya.
4.    Berteman dengan orang-orang yang ikhlas
Agar bisa mengikuti irama langkah mereka, mengambil pelajaran dari mereka dan mencontoh akhlak mereka.
5.    Membaca sirah orang-orang Mushlih
Mengenali kehidupan mereka, mengikuti jejak dan petunjuk mereka.
6.    Mujahadah terhadap nafsu
Maksudnya, mengarahkan kehendak untuk memerangi hawa nafsu yang menjurus kepada keburukan, mengendalikan egoisme dan kecenderungan kepada keduniaan, hingga ikhlas karena Allah.
“Dan orang-orang yang berjihad untuk (mencari keridhaan) Kami, benar-benar akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami. Dan sesungguhnya Allah benar-benar beserta orang-orang yang berbuat baik.” (Al-‘Ankabut : 69)
7.    Berdo’a dan memohon pertolongan kepada Allah.

1.e.   Bukti-bukti Penguat Ikhlas (Pengayaan)

Pertama : Takut Ketenaran
Ketenaran itu sendiri tidak tercela. Tetapi yang tercela itu mencari ketenaran.
Kedua : Menuduh Diri Sendiri
Orang yang mukhlis senantiasa menuduh diri sendiri sebagai orang yang berlebih-lebihan di sisi Allah dan kurang dalam melaksanakan berbagai kewajiban, tidak mampu menguasai hatinya karena terpedaya oleh suatu amal dan taajub terhadap diri sendiri. Bahkan dia senantiasa takut andaikata keburukan-keburukannya tidak diampuni dan takut kebaikan-kebaikannya tidak diterima.
Ketiga : Beramal Secara Diam-diam Jauh dari Sorotan
Amal yang dilakukan secara diam-diam harus lebih disukai daripada amal yang disertai sorotan dan diekspos.
Keempat : Tidak Menuntut Pujian dan Tidak Terkecoh Oleh Pujian
Orang-orang memujimu dari persangkaan mereka tentang dirimu. Maka jadilah engkau orang yang mencela dirimu sendiri karena apa yang engkau ketahui pada dirimu. Orang yang paling bodoh adalah yang meninggalkan keyakinannya tentang dirinya karena ada persangkaan orang-orang tentang dirinya.

Kelima : Tidak Kikir Pujian terhadap Orang Yang Memang Layak Dipuji

Boleh jadi seseorang tidak mau memberikan pujian kepada orang yang layak dipuji, karena ada maksud tertentu di dalam dirinya atau karena rasa iri yang disembunyikan. Karena dia juga tidak mampu untuk melemparkan celaan, maka setidak-tidaknya dia hanya diam dan tidak perlu menyanjungnya
Keenam : Berbuat Selayaknya dalam Memimpin
Orang yang mukhlis karena Allah akan berbuat selayaknya ketika menjadi pemimpin di barisan terdepan dan tetap patriotic ketika berada di barisan paling belakang. Hatinya tidak dikuasai kesenangan untuk tampil. Tetapi dia lebih mementingkan kemaslahatan bersama karena takut ada kewajiban dan tuntutan kepemimpinan yang dia lewatkan.
Dia tidak ambisi dan tidak menuntut kedudukan untuk kepentingan dirinya sendiri. Tetapi jika dia dibebani tugas sebagai pemimpin, maka dia melaksanakannya dan memohon pertolongan kepada Allah agar dia mampu melaksanakannya dengan baik.
Ketujuh : Mencari Keridhaan Allah, Bukan Keridhaan Manusia
Tidak mempedulikan keridhaan manusia jika di balik itu ada kemurkaan Allah. Sebab satu orang dengan yang lain saling berbeda dalam sikap. Berusaha membuat mereka ridha adalah sesuatu yang tidak bertepi.
Kedelapan : Menjadikan Keridhaan dan Kemarahan Karena Allah, Bukan Karena Pertimbangan Pribadi
Boleh jadi engkau pernah melihat orang-orang yang aktif dalam medan dakwah, apabila ada salah seorang rekannya melontarkan perkataan yang mengganggu atau melukai perasaannya, atau ada tindakan yang menyakiti hatinya, maka secepat itu pula dia marah, lalu meninggalkan harakah.
Ikhlas menuntutnya untuk tegar dalam dakwah dan gerak langkahnya, sekalipun orang lain menyalahkan, meremehkan dan bertindak kelewat batas terhadap dirinya. Sebab dia berbuat karena Allah.
Kesembilan : Sabar Sepanjang Jalan
Perjalanan yang panjang, lambatnya hasil yang diperoleh, kesuksesan yang tertunda, kesulitan dalam bergaul dengan berbagai lapisan manusia dengan perbedaan perasaan dan kecenderungan mereka, tidak boleh membuatnya menjadi malas, bersikap santai, mengundurkan diri, atau berhenti di tengah jalan. Sebab dia berbuat bukan sekedar untuk sebuah kesuksesan atau pun kemenangan, tetapi yang paling pokok tujuannya adalah untuk keridhaan Allah dan mengikuti perintah-Nya.
Kesepuluh : Rakus terhadap Amal Yang Bermanfaat
Dia senang melakukan puasa nafilah dan shalat dhuha. Tapi sekalipun waktunya habis untuk mendamaikan orang-orang yang sedang bertikai, maka justru inilah yang lebih dia pentingkan.
Kesebelas : Menghindari Ujub
Yaitu tidak merusak amal dengan ujub, merasa senang dan puas terhadap amal yang telah dilakukannya. Yang seharusnya dilakukan orang Mukmin setelah melaksanakan suatu amal ialah takut kalau-kalau dia telah melakukan kelalaian, disadari maupun tidak disadari.

Maraji’
Dr. Yusuf Qardhawi : Niat dan Ikhlas

No comments:

Post a Comment